Koperasi di tinjau dari permodalan
Meskipum koperasi Indonesia bukan merupakan bentk kumpulan modal, namun sebagai suatu badan usaha maka didalam menjalankan usahan ya koperasi memerlukan modal pula. Tetapi, pengaruh modal dan penggunaannya dalam koperasi tidak boleh mengaburkan dan mengurangi makna koperasi, yang lebih menekankan kepentingan kemanusiaan dari pada kepentingan kebendaan.
Modal tetap atu di sebut juga modal jangka panjang diperlukan untuk menyediakan fasilitas fisik koperasi, seperti untuk pembelian tanah, gedung, mesin dan kendaraan.
Modal sebagaimana diketahui adalah merupakan salah satu factor produksi yang sangat penting, tetapi hingga sekarang diantara para ahli belum terdapat kesamaan pendapat tentang apa yang disebut dengana modal itu.
SUMBER PERMODALAN KOPERASI
Menurut UU No. 25 1992 tentang pengoprasian pasal 41 dinyatakan bahwa modal koperasi terdiri dari modal pinjaman. Modal sendiri dapat berasal dari :
a. simpanan pokok
b. simpanan wajib
c. dana cadangan
d. hibah
sedangkan modal pinjaman dapat berasal dari :
a. anggota
b. koperasi lainnya dan / anggotanya
C. BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAINNYA
D. penerbita obligai dan surat hutangnya lainnya
e. sumber lain yang sah
MODAL SEDIRI
Yang di maksud dengan sendiri adalah modal yang menanggung resiko atau di sebut ekuiti.
a. simpangan pokok
b. simpanan wajib
c. dana cadangan
d. hibah
MODAL PINJAMAN
Modal pinjaman berasala dari :
a. anggota
b. koperasi lain / anggotanya
c. bank dan lembaga lainnya
d. penerbitannya obligasi dan surat hutang lainnya
e. sumber lain yang sah
Koperasi menurut manajemen
Pengertian manjemen
Proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoodinasian dan pengendalian, sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan, kelima fungsi manajemen tersebut merupakan kunci bagi keberasilan suatu manajemen dapat pula di tambahkan dua fungsi lain , yaitu : pengkomunikasian dan pemotivasi.
PERENCAAN
Perencanaan dapat didefinisikan sebagai pemikran yang mengarah ke masa depan yang menyangkut rangkaian tindakan berdasarkan pemahaman penuh terhadap semua factor yang terlibat dan yang diarahkan kepada sasaran khusus.
PENGORGANISASIAN
Merupakan langkah atau usaha untuk :
· Menentukan struktur
· Menentukan pekerjaan yang harus di laksanakan
· Memilih, menempatkan dan melatih karyawan
· Merumuskan garis kegiatan
· Membentuk sejumlah hubungan di dalam organisasi dan kemudian menunjuk stafnya
PENGARAHAN
Pengarah ditunjuk kepada :
· Menentukan kewajiban dan tanggung jawab
· Menetapkan hasil yang harus dicapai
· Mendelegasikan wewenang yang diperlukan
· Menciptkan hasrat untuk berhasil
· Mengawasi agar pekerjaan benar – benar dilaksanakan sebagaimana mestinya
Pengkoordinasian
Pengkoordinasian berlangsung serentak dengan :
· Penafsiran program, kebijakan, prosedur dan praktek
· Pengupayaan pertumbuhan dan perkembangan karyawan
· Pembinaan hubungan dengan para karyawan
· Pengupayaan iklim berhasil
· Pengadaan arus informasi yang bebas
PENGENDALIAN
Pengendalian menguraikan sistem informasi yang memonitor encna dan proses untuk meyak Meng-quantum-kan SDM Koperasi
Diarsipkan oleh Yusuf Maulana on Senin, 13 Juli 2009
Label: Niaga
Saat menempuh program sarjana, saya berkuliah di dua kampus negeri berbeda di Yogyakarta ; kampus yang sama-sama memiliki koperasi mahasiswa (kopma). Meskipun kerap memanfaatkan jasa yang ditawarkan, saya tidak pernah bergabung sebagai anggota kopma di kedua kampus itu. Pada awalnya, saya tidak berharap terlalu banyak pada kedua kopma itu karena saya masih berpandangan bahwa koperasi di Indonesia , di mana dan apa pun bentuk aktivitasnya, mestilah jauh dari kata prestasi. Parahnya lagi, saat itu saya menganggap pengertian koperasi tidak lain adalah KUD (koperasi unit desa) namun untuk tingkat kampus.
Persepsi negatif itu makin terkonfirmasi saat saya menjadi konsumen di kopma kampus A. Saya heran, meski sering diberitakan sebagai kopma teladan nasional dan beromset banyak, saya merasa esensi peran koperasi yang saya ketahui dari buku dan koran belumlah tampak. Betapa tidak memihak mahasiswa, untuk item produk yang sama, sebuah swalayan yang hanya berjarak seratusan meter dari kopma ini mampu menawarkan harga lebih murah. Jika item produk yang memiliki pesaing saja harga di kopma lebih mahal, bisa diperkirakan bagaimana harga barang-barang yang merupakan identitas kampus dan dibuat hanya oleh kopma kampus A. Karena keadaannya seperti ini, tidak heran ketika lini usaha yang tidak kompetitif harganya akhirnya ditutup; lini buku kuliah, misalnya. Penutupan ini bukan akibat minat baca mahasiswa di kampus A rendah, melainkan akibat tidak kompetitifnya harga buku-buku yang ditawarkan.
Di sisi lain, interaksi saya dengan kopma kampus B sebenarnya masih dibayang-bayangi pengalaman tidak memuaskan sebagai konsumen di kopma kampus A. Namun, karena buku-buku kuliah tersedia, saya “terpaksa” memanfaatkan jasa kopma kampus B. Yang penting cepat mendapatkannya, meskipun saya tidak terlalu berharap soal harga yang kompetitif atau tidak dibandingkan toko-toko buku berdiskon.
Ternyata dugaan saya meleset. Bukan hanya memberikan diskon, buku-buku yang dijual pun terkadang lebih murah dibandingkan toko buku berdiskon. Demikian pula untuk produk atau jasa lainnya. Perlahan-lahan persepsi negatif saya selama ini tentang koperasi mengalami perubahan. Saya menyaksikan langsung bagaimana kontribusi kopma kampus B ini bagi mahasiswa kampus setempat; mahasiswa yang secara ekonomi memang di bawah kampus A. Bila kopma kampus A seperti kurang akrab dengan masyarakat sekitar kampus, tidak demikian halnya dengan kopma kampus B. Bukan hal yang aneh bila dijumpai antrean masyarakat non-kampus membeli kebutuhan sehari-hari di kopma kampus B. Selain lokasi yang dekat dengan permukiman, keuntungan lain yang didapat masyarakat di sekitar kampus B adalah harga yang kompetitif dengan harga swalayan.
Padahal, sudah menjadi pandangan umum masyarakat di kota saya bahwa kampus A memiliki mahasiswa cerdas secara intelektual. Adapun kampus B selama ini lebih sering dicitrakan sebagai kampus bagi mahasiswa menengah-bawah, dan secara intelektual kecerdasannya dianggap di bawah mahasiswa kampus A. Namun, penilaian seperti ini ternyata tidak memiliki makna bagi pengembangan dan pemajuan kopma. Saya lalu berhipotesis bahwa kemampuan intelektual—yang lazimnya distandarkan dengan angka intellectual quotient (IQ)—tidaklah memadai dalam upaya mengembangkan dan memajukan koperasi.
Saya justru tertarik dengan tingginya kepedulian sosial pada kebijakan pengurus kopma kampus B. Merasa sebagai bagian dari kalangan yang memiliki finansial terbatas, para pengurus tidak ingin membebani konsumen kopma, baik dari masyarakat sekitar kampus lebih-lebih mahasiswa. Dari literatur psikologi saya mengerti bahwa kepekaan dan kepedulian empatik seperti ini manifestasi kecerdasan diri (intrapersonal) sekaligus kecerdasan bergaul (interpersonal) pengurus kopma kampus B. Faktor inilah yang saya lihat sebagai faktor penyebab posisi kopma tersebut akrab dengan konsumen/pelanggan. Saya kian meyakini kemajuan sebuah koperasi belumlah memadai bila ditopang oleh kecerdasan intelektual pegiatnya semata. Buktinya, seperti beberapa kasus yang diberitakan oleh media, ada pegiat koperasi bertindak korup meskipun yang bersangkutan berasal dari kalangan terdidik. Dengan demikian, yang sebenarnya juga dibutuhkan untuk memajukan koperasi adalah kecerdasan intrapersonal dan personal pegiatnya. Inilah titik tolak perbaikan kualitas sumber daya manusia (SDM) koperasi.
Kecerdasan-majemuk
Mengikuti teori kecerdasan-majemuk (multiple intelligences) dari psikolog Universitas Harvard, Howard Gardner (1983), setiap manusia memiliki potensi keunikan. Gardner menyebutkan bahwa sekurang-kurangnya ada delapan kecerdasan, yakni kecerdasan matematis-logis, kecerdasan spasial (gambar), kecerdasan kinestetis-jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan linguistik, dan kecerdasan naturalis. Belakangan Gardner menambahi teorinya dengan kecerdasan kesembilan, yakni kecerdasan eksistensial.
Lalu, bagaimana penerapannya bagi kemunculan koperasi berkualitas? Sering dikeluhkan betapa dukungan pemerintah kepada koperasi jauh dari memuaskan. Tidak hanya dalam regulasi ekonomi, ketika koperasi berupaya mengambil alih kepemilikan saham perusahaan negara (BUMN) atau swasta, pemerintah kurang memberikan dukungan atau kemudahan. Apakah dengan pemihakan pemerintah yang masih sering sebatas retorika itu membenarkan pegiat koperasi untuk hanya pasrah berjalan di tempat?
Di sisi inilah para pegiat koperasi sudah seharusnya mensubstitusi kepasrahan pada nasib menjadi gerakan ekonomi kerakyatan sebagaimana pernah dicontohkan para pedagang batik Laweyan, Solo, ketika berdikari dari pengaruh kraton dan dominasi politik ekonomi kolonial Belanda. Jalur yang bisa ditempuh adalah bagaimana memanfaatkan model-model pembelajaran yang berupaya mengubah paradigma kepasrahan, dengan memanfaatkan dan menyinergikan berbagai kecerdasan yang dimiliki para pegiat koperasi. Dengan demikian, akan terwujud optimisme yang pernah dikemukakan Dawam Rahardjo, “mengingat pengalaman peranan pemerintah di masa lalu yang melemahkan kemandirian koperasi, maka timbul pandangan bahwa koperasi dan UKM justru akan bisa bangkit melalui mekanisme pasar.” Dawam mencontohkan pengalaman di negara-negara maju di mana koperasi ternyata bisa bersaing dalam sistem pasar bebas: di Amerika Serikat, 90 persen lebih distribusi listrik desa dikuasai oleh koperasi; di Kanada, koperasi pertanian mendirikan industri pupuk dan pengeboran minyak bumi; di negara-negara Skandinavia, koperasi menjadi soko guru perekonomian; di Jerman, bank koperasi Raifaissen sangat maju dan penting peranannya, dengan kantor-kantor cabangnya di kota maupun desa (Kompas, 9 Agustus 2002).
Oleh karena itu, memodernkan koperasi akhirnya tidak lagi selalu identik apalagi sama dengan meningkatnya IQ pegiat koperasi. Mengandalkan hanya pada IQ pegiat koperasi, alih-alih koperasi bertambah maju atau modern, yang terjadi justru bisa jadi sebaliknya. Jika bertumpu pada kecerdasan intelektual (logis) semata, bukan mustahil kopma kampus A dalam kasus di atas kian tergerusi oleh ekspansi pesaingnya, yakni swalayan di sekelilingnya. Untuk itulah perlu ada penggalian lagi kemampuan diri di luar kecerdasan logis para pegiatnya.
Langkah seperti itu pernah ditempuh oleh Koperasi Serba Usaha Dosen Universitas Gadjah Mada (Kosudgama). Seperti disampaikan ketuanya dalam sebuah seminar perkoperasian, ada seorang dosen UGM yang dari mobil sampai rumah barang miliknya adalah pinjaman dari koperasi. Walaupun suku bunga koperasi terlihat lebih mahal dibandingkan bank umum, tetapi tatkala dijelaskan bahwa setiap partisipasi anggota akan mendapatkan imbalan berupa sisa hasil usaha—yang besarnya bergantung pada tingkat kontribusi anggota—maka dosen tersebut setuju. Pasalnya, biaya di koperasi bila dihitung-hitung ternyata lebih rendah bila dibandingkan bank umum.
Menyampaikan argumentasi secara rasional dalam kasus dosen tersebut memang tepat. Tapi, yang lebih penting lagi adalah pemberian penjelasan dengan disertai pendekatan kekeluargaan sehingga muncul loyalitas pada anggota koperasi. Hal ini tidak lain sebuah artikulasi kecerdasan interpersonal yang dilibatkan dalam memersuasi dosen tersebut. Andai saja pengurus koperasi berpikir rasional semata—bahwa hilangnya satu orang dosen sebagai konsumen dan/atau anggota Kosudgama bukan sebagai masalah—maka ini menjadi petanda bagi laku surut koperasi.
Jadi, hal mendasar memajukan dan mengembangkan perkoperasian adalah membenahi sumber daya manusianya, baik kecerdasan intelektualnya dan lebih-lebih kecerdasan intrapersonal dan interpersonal. Titik awalnya adalah mengubah mentalitas yang selama ini hadir, terutama akibat—seperti dianalisis Revrisond Baswir—“intervensi legal dan institusional terhadap gerakan koperasi pada era pembangunan Orde Baru” (Kompas, 1 Januari 2000).
Dengan menempatkan problem mentalitas sebagai hambatan kemajuan koperasi, mudah dipahami jika Ann Booth, seorang pengamat perekonomian Indonesia, menyimpulkan bahwa kegagalan koperasi di Indonesia disebabkan oleh karakternya yang bertolak belakang dengan kepribadian Jawa. Pengusaha Jawa, kata Ann, terlalu individualistis untuk bergabung dalam usaha yang bersifat tolong-menolong seperti koperasi. Analisis ini membalikkan keyakinan Hatta bahwa kegotong-royongan telah berakar dalam-dalam pada adat istiadat Indonesia asli (Tempo, edisi 12-19 Agustus 2001).
Gotong royong yang dilihat (Mohammad) Hatta sebagai karakter kuat masyarakat Indonesia tidaklah berlaku permanen. Ketika watak individualisme mengemuka, hal logis kegotong-royongan pun terkikis. Di sisi lain, individualisme (pengusaha Jawa) yang dilihat Anna juga tidaklah tepat dikatakan berlaku permanen. Ketika watak individualisme para pengusaha itu berganti menjadi watak sosial, hal logis kegotong-royongan pun menguat.
Terlepas dari kekurangan analisis Ann dan pandangan idealistik Hatta di atas, yang dikemukakan Anna tidak lain sebagai kritisisme atas hilangnya kecerdasan interpersonal dan juga kecerdasan intrapersonal pegiat koperasi. Betapa tidak, alih-alih mementingkan masyarakat, pegiat koperasi hanya ingin memajukan dirinya. Oleh karena itu, jika optimisme pada watak gotong-royong masih ingin dilanjutkan, maka problem mental individualisme haruslah diganti menjadi altruisme. Kecerdasan interpersonal mengharuskan setiap pemiliknya untuk berjiwa sosial, alih-alih mementingkan dirinya. Pembangunan atau modernisasi koperasi selama ini sayangnya lebih sering bertumpu pada bagaimana mengoptimalkan potensi intelektual (IQ) pengurus, namun mengabaikan (terutama) kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal.
Padahal, berpijak pada kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal itulah bagaimana brand koperasi pada masa mendatang dibangun, terutama sejauh mana mutual-trust telah dipraktikkan koperasi secara sungguh-sungguh. Kecerdasan logis belumlah memadai untuk menunjukkan kapasitas mutual-trust koperasi kepada khalayak. Dan dari mutual-trust yang melekat dalam identitas koperasi itulah, kepercayaan kepada koperasi bisa meningkat. Sebab, kepercayaan yang diberikan khalayak kepada koperasi sudah dikonfirmasi terlebih dulu berupa kredibilitas kiprah koperasi pada masa sebelumnya. Dalam konteks inilah, di luar aspek-aspek politis, alasan mengapa kalangan koperasi belum dipandang kredibel untuk mengambil alih kepemilikan saham pemerintah di BUMN atau swasta dibandingkan penawar dari pihak asing.
“Solusinya bisa berupa pembekuan atau mengaktifkan kembali koperasi yang sudah mati.Tapi, kita akan lihat kasus per kasus berdasarkan masalah yang dihadapi koperasi bersangkutan. Jangan sampai koperasi yang punya utang besar dibekukan,”beber Guritno. Sampai 2011, koperasi di Indonesia mencapai 177.912 unit dengan jumlah terbanyak ada di Jabar,Jatim,dan Jateng.
Dari jumlah tersebut, 27% koperasi dinyatakan tidak aktif. Sementara untuk menyehatkan koperasi, Kementerian KUKM telah menyiapkan dana sebesar Rp700 miliar dari total anggaran Rp1 triliun pada tahun ini. (arif budianto)