Mohammad Natsir, salah seorang
tokoh Islam terkemuka pada tahun 1972 pernah mengatakan,”mereka (penguasa)
memperlakukan kita (Islam) seperti kucing kurap.”
Pada saat Natsir melontarkan kalimat seperti ini, hubungan
Islam dengan Orde Baru sedang diwarnai ketegangan. Berbeda dengan
masa-masa awal kelahiran Orde Baru, relasi Islam degan pemerintahan
transisi dari Demokrasi Terpimpin (Soekarno) ke pemerintahan baru (Soeharto)
sangat harmonis dan saling memerlukan.
Saling memerlukan karena setelah terjadi turbulensi
politik September 1965, ketika kekuasaan beralih ke militer (Jenderal
Soeharto), yang terakhir ini mencari dukungan politik untuk menghancurkan
pengikut dan simpatisan komunis.
Sebelumnya ketika bandul kekuasaan Demokrasi Terpimpin
bergerak ke kiri pada akhir tahun 1960-an, ketegangan politik dan
ketidaksenangan kalangan Islam, terutama Islam modernis yang
direpresentasikan oleh Masyumi dan Islam tradisionalis yang diwakili
Nahdlatul Ulama, terhadap kaum komunis meninggi.
Begitu pula dengan militer yang menjadi salah satu
kekuatan politik yang sekaligus menjadi kompetitor politik bagi Soekarno dan
Partai Komunis, pada masa itu mulai membangun kontak-kontak politik dengan
kalangan Islam modernis untuk melawan Partai Komunis.
Setelah meletup turbulensi politik September 1965 dan
kemudian kekuasaan diambilalih Jenderal Soeharto, yang terakhir ini
memerlukan bantuan masyarakat sipil (Islam) seperti Nahdatul Ulama,
Islam modernis, dan intelektual sekular bukan Islam untuk menindas Partai
Komunis.
Kelompok Islam diperlukan karena kelompok ini adalah
satu-satunya kekuatan yang ada yang dapat dimobilisasi melawan partai
kiri ini. Pada waktu itu, sekalipun kalangan Islam menyokong Jenderal
Soeharto, tetapi Masyumi, partai yang pernah dipimpin Natsir ini masih
dilarang.
Partai nasionalis terbelah antara yang dekat Soekarno dan
yang mulai mengambil jarak dengan Pemimpin Besar Revolusi ini,
sedangkan Sekber Golkar belum dapat dijadikan instrumen pendukung
pembersihan komunis.
Setelah Partai Komunis disingkirkan, Orde Baru di bawah
Soeharto menggantikan Demokrasi Terpimpin. Sewaktu Orde Baru lahir, umat
Islam yang telah memberi kontribusi besar dalam kelahiran Orde Baru
menyambutnya dengan antusias dengan harapan kelompok Islam dapat
mengisi pemerintahan baru.
Selain itu, muncul keinginan politik yang kuat agar
Masyumi, partai yang dibekukan aktivitas politiknya dapat direhabilitasi
kembali menjadi partai politik. Ternyata Orde Baru yang ditopang militer
itu menjalankan logika kekuasaannya sendiri. Keinginan politik umat Islam
agar Masyumi direhabilitasi ditolak.
Penolakan ini didasarkan atas ketakutan Orde Baru
akan bangkitnya kekuatan politik Islam, selain juga karena keterlibatan
Masyumi atas pemberontakan daerah yang membuat kelompok militer, terutama
para jenderal abangan di lingkaran Soeharto yang anti Islam
menolak rehabilitasi Masyumi.
Untuk mengurangi kekecewaan umat, Orde Baru lewat
Jenderal Ali Murtopo, seorang perwira tinggi intelijen yang dikenal luas
dengan manuver-manuver politiknya mendirikan Partai Muslimin Indonesia
(Parmusi) tahun 1968. Pada awalnya yang akan menjadi pemimpin Parmusi
adalah Mintarejaja, seorang intelektual Islam. Tetapi kemudian lewat manuver
politik Ali Murtopo, Mintereja mendadak digantikan oleh John Naro.
Demikian pula dengan NU yang mengharapkan konsesi-konsesi
politik dalam kekuasaan juga mengalami kekecewaaan karena dari personalia
kabinet pertama Orde Baru, hanya satu posisi (Menteri Agama, Idham Chalid)
yang diberikan kepada NU, sisanya personalia kabinet diisi kalangan sekuler
dan Islam abangan. Sikap Orde Baru memperlakukan umat Islam bagaikan anak
tiri ini semakin melambungkan kekecewaan umat Islam.
Setelah memangkas kekuatan Islam, dalam menghadapi
Pemilu 1971 Orde Baru melalui Ali Murtopo menghidupkan kembali Sekber Golkar
sebagai mesin politik kekuasaan. Sewaktu hendak ditubuhkan sebagai partai
penguasa, Ali Murtopo lewat manuver politiknya melakukan, meminjam
bahasa Ken Ward, pembuldoseran politik dengan cara menekan lawan politik yang
tentu saja lewat ancaman dan teror seraya menarik kelompok-kelompok tertentu
untuk mendukung Sekber Golkar.
Dalam menempatkan kepengurusan Sekber Golkar, Ali
Murtopo memilih kelompok Katolik dan Protestan menduduki jabatan
puncak kepemimpinan partai. Sejak masa ini sampai tahun 1983 tidak
satupun kelompok Islam yang menduduki kepengurusan partai, kalaupun ada orang
Islam yang menjadi pimpinan partai mereka adalah Islam abangan.
Sewaktu Pemilu 1971 digelar yang muncul sebagai peraih
suara terbesar adalah Sekber Golkar, sedangkan Nahdlatul Ulama, Parmusi,
Perti, dan PSII perolehan suaranya jauh di bawah suara Sekber
Golkar. Meskipun Sekber Golkar memenangi Pemilu 1971, tetapi perolehan suara
partai-partai Islam tetap saja dianggap ancaman Orde Baru.
Dalam upaya mengonsolidasi kekuasaannya, Orde Baru
menjalankan rekayasa politik dengan menggabungkan partai-partai Islam
(Nahdlatul Ulama, Parmusi, Perti, dan PSII) ke dalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia dan
sebagainya disatukan dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sedangkan Sekber
Golkar kemudian menjadi Golkar.
Menyatunya partai-partai Islam ke dalam PPP bukannya
memperkuat partai, tetapi semakin memperlemah keberadaan partai-partai Islam.
Bahkan penyatuan tersebut membuat partai-partai Islam yang bergabung dalam
PPP semakin rentan terhadap konflik antar-partai dan perseteruan tokoh
partai, terutama antara Nahdlatul Ulama dan Parmusi.
Akibatnya, pada masa ini partai-parati Islam (PPP)
mengalami demoralisasi politik. Seturut dengan menyusutnya kekuatan politik
Islam, pasca pemilu 1971 pos-pos kementerian yang diisi kalangan Islam
(Nahdlatul Ulama) semakin menghilang.
Jika di masa kabinet pertama Orde Baru,
kelompok Islam tradisional masih mendapat posisi sebagai Menteri Agama,
setelah kabinet berikutnya pos kementerian itu diserahkan kepada orang-orang
yang tidak mempunyai basis Islam yang kuat seperti Mukti Ali, Munawir Sazali,
dan Alamsjah Ratuprawiranegara.
Sementara itu jabatan di bawah Menteri, semisal Sekretaris
Jenderal, Direktorat Jenderal, dan Inspektur Jenderal dalam berbagai
kementerian dikuasai militer. Dengan bergesernya pos kementerian agama yang
selama ini menjadi prestise politik Islam tradisionalis ke individual non
partai semakin merontokkan kekuatan politik Islam.
Hal ini berakibat semakin memburuknya relasi antara Islam
dan Orde Baru. Memburuknya relasi antara Islam dan Orde Baru inilah
yang menyebabkan Natsir mengatakan seperti di awal tulisan ini,
memperlakukan Islam seperti kucing kurap. Pada 1980-an selain berhasil
menyatukan kekuatan militer, Orde Baru memasyarakatkan Pancasila dalam
kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat.
Gagasan memberlakukan Pancasila yang asal usulnya dari
gagasan negara integralistiknya Supomo ini sudah berlangsung lama terutama
sejak Jenderal Abdul Harris Nasution menjadi petinggi militer tahun 1950-an.
Kemudian pemasyarakatan Pancasila ini dilanjutkan dan
terus mendapat sokongan dari ideolog-ideolog militer dan sipil Orde
Baru. Bersamaan dengan berlangsungnya pemasyarakatan Pancasila, Orde Baru
mengeluarkan istilah ‘esktrim kanan’ yang sering kali dikaitkan dengan
kegiatan Darul Islam.
Di mata penguasa Orde Baru sebutan ‘esktrim kanan’ selalu
dihubungkan sebagai upaya negara memojokkan kelompok Islam yang menolak
Pancasila. Penerapan Pancasila ini melahirkan ketegangan politik antara Islam
dan Orde Baru. Namun dalam merespons Pancasila terjadi pergolakan politik
internal di kalangan umat Islam. Ada yang menerima Pancasila, ada yang
menolak ideologi negara ini.
Gerakan cultural
Ruang politik dan ruang publik yang dimonopoli Orde
Baru yang berujung dengan pemerosotan kekuatan politik Islam tidak serta
merta terus menerus disikapi secara politik oleh kelompok Islam lainnya.
Ruang politik dan ruang publik yang menjauh dari political
civility itu, oleh kelompok Islam yang bergerak di ranah kultural yang
tidak mengglorifikasi kekuatan Islam pada kekuatan politik memanfaatkan ruang
publik yang tersedia dengan melakukan sekularisasi politik dengan
slogan terkenalnya ‘Islam ya, partai Islam no’, yang dimulai tahun
1970-an saat Parpol Islam mengalami demoralisasi politik.
Gerakan kultural ini dipelopori antar lain Nurcholis
Madjid, Dawam Rahardjo, Utomo Danandjaya, dan Ahmad Wahib menjauhkan diri
dari politik, tetapi melakukan dakwah sambil memperkuat sumber daya
umat (pendidikan).
Gerakan kultural ini relatif bebas dari sensor kekuasaan.
Seturut dengan itu Orde Baru melakukan pembangunan pendidikan, terutama
madrasah dan dibukanya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) serta perguruan
tinggi sekuler lainnya semakin mempercepat berkembangnya gerakan
kultural Islam ini.
Bersamaan dengan meluasnya pendidikan jumlah kalangan
Islam yang memasuki birokrasi makin hari makin membesar. Sementara itu di
tingkat nasional partai penguasa Golkar yang tadinya dikuasai bukan
Muslim, setelah tahun 1983 kalangan Muslim dengan contoh par exellencenya
Akbar Tanjung berhasil menembus kepengurusan Golkar.
Dalam lanskap politik yang lebih luas bergesernya aliansi
politik di kalangan militer yang dipayungi para jenderal awal berdirinya Orde
Baru makin hari makin melemah dan satu demi satu menghilang dari arena politik.
Sejalan dengan itu para petinggi militer yang memegang
kekuasaan yang notabene penerus para pendahulunya itu membangun
klik-klik politik militer semisal makin menguatnya posisi kelompok Benny
Moerdani menyebabkan terdisrupsinya kekuasaan Soeharto.
Pergeseran aliansi politik inilah yang kemudian mendorong
Soeharto mendekatkan diri pada kelompok Islam sambil mencitrakan dirinya
sebagai Muslim taat guna menjustifikasi merapatnya penguasa Orde Baru ini
dengan kelompok Islam.
Sementara itu gerakan kultural Islam yang disemai
Nurcholis Madjid tidak saja berhasil mengislamkan birokrasi tetapi juga
melahirkan kelas menengah Muslim yang sadar politik yang menuntut agar Islam
diberi tempat dalam format kekuasaan.
Rangkaian pergeseran politik ini diakomodir Orde Baru yang
kemudian mendorong perubahan politik, yaitu mendekatnya relasi Islam dan
negara (Orde Baru) yang sangat berbeda dengan masa sebelumnya.
Sejak itu Islam memainkan peranan penting dalam kekuasaan Orde Baru, pasca
kejatuhannya, dan sampai sekarang ini. ***** ( Budi Agustono : Penulis
adalah staf pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra USU )
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar