Jumat, 27 April 2012

Hubungan Islam Dan Orde Baru




Mohammad Natsir, salah seorang tokoh Islam terkemuka pada tahun 1972 pernah mengatakan,”mereka (penguasa) memperlakukan kita (Islam) seperti  kucing kurap.”
Pada saat Natsir melontarkan kalimat seperti ini, hubungan Islam dengan Orde Baru sedang  diwarnai ketegangan. Berbeda dengan masa-masa awal kelahiran Orde Baru, relasi Islam degan  pemerintahan transisi dari Demokrasi Terpimpin (Soekarno) ke pemerintahan baru (Soeharto) sangat harmonis dan saling memerlukan.
Saling memerlukan karena setelah terjadi turbulensi politik September 1965, ketika  kekuasaan beralih ke militer (Jenderal Soeharto), yang terakhir ini mencari dukungan politik untuk menghancurkan pengikut dan simpatisan komunis.
Sebelumnya ketika bandul kekuasaan Demokrasi Terpimpin bergerak ke kiri pada akhir tahun 1960-an, ketegangan politik  dan ketidaksenangan kalangan Islam, terutama Islam modernis yang direpresentasikan oleh Masyumi dan Islam tradisionalis yang diwakili Nahdlatul Ulama, terhadap kaum komunis meninggi.
Begitu pula dengan militer yang  menjadi salah satu kekuatan politik yang sekaligus menjadi kompetitor politik bagi Soekarno dan Partai Komunis, pada masa itu mulai membangun kontak-kontak politik dengan kalangan Islam modernis untuk melawan Partai Komunis.
Setelah meletup turbulensi politik September 1965 dan kemudian kekuasaan diambilalih Jenderal Soeharto, yang terakhir ini memerlukan bantuan masyarakat sipil (Islam) seperti Nahdatul  Ulama, Islam modernis, dan intelektual sekular bukan Islam untuk menindas Partai Komunis.
Kelompok Islam diperlukan karena kelompok ini adalah satu-satunya kekuatan yang ada  yang dapat dimobilisasi melawan partai kiri ini. Pada waktu itu, sekalipun kalangan Islam menyokong Jenderal Soeharto, tetapi Masyumi, partai yang pernah dipimpin Natsir ini masih dilarang.
Partai nasionalis terbelah antara yang dekat Soekarno dan yang mulai mengambil jarak dengan Pemimpin Besar Revolusi ini, sedangkan  Sekber Golkar belum dapat dijadikan instrumen pendukung pembersihan komunis.
Setelah Partai Komunis disingkirkan, Orde Baru di bawah Soeharto menggantikan Demokrasi Terpimpin. Sewaktu Orde Baru lahir, umat Islam yang telah memberi kontribusi besar dalam kelahiran Orde Baru menyambutnya dengan antusias dengan harapan kelompok Islam dapat  mengisi pemerintahan baru.
Selain itu,  muncul keinginan politik yang kuat agar Masyumi, partai yang dibekukan aktivitas politiknya dapat direhabilitasi kembali menjadi partai politik. Ternyata Orde Baru yang ditopang militer itu  menjalankan logika kekuasaannya sendiri. Keinginan politik umat Islam agar Masyumi direhabilitasi ditolak.
Penolakan ini didasarkan atas ketakutan  Orde Baru akan bangkitnya kekuatan politik Islam, selain juga karena keterlibatan Masyumi atas pemberontakan daerah yang membuat kelompok militer, terutama para jenderal  abangan di lingkaran Soeharto yang anti Islam menolak rehabilitasi Masyumi.
Untuk mengurangi kekecewaan umat,  Orde Baru lewat Jenderal Ali Murtopo, seorang perwira tinggi intelijen yang dikenal luas dengan manuver-manuver politiknya mendirikan Partai Muslimin Indonesia  (Parmusi) tahun  1968. Pada awalnya yang akan menjadi pemimpin Parmusi adalah Mintarejaja, seorang intelektual Islam. Tetapi kemudian lewat manuver politik Ali Murtopo, Mintereja mendadak digantikan oleh John Naro.
Demikian pula dengan NU yang mengharapkan konsesi-konsesi politik dalam kekuasaan juga mengalami kekecewaaan karena dari personalia kabinet pertama Orde Baru, hanya satu posisi (Menteri Agama, Idham Chalid) yang diberikan kepada NU, sisanya personalia kabinet diisi kalangan sekuler dan Islam abangan. Sikap Orde Baru memperlakukan umat Islam bagaikan anak tiri ini semakin melambungkan kekecewaan umat Islam.
Setelah memangkas kekuatan Islam, dalam  menghadapi Pemilu 1971 Orde Baru melalui Ali Murtopo menghidupkan kembali Sekber Golkar sebagai mesin politik kekuasaan. Sewaktu hendak ditubuhkan sebagai partai penguasa, Ali Murtopo  lewat manuver politiknya melakukan, meminjam bahasa Ken Ward, pembuldoseran politik dengan cara menekan lawan politik yang tentu saja lewat ancaman dan teror seraya menarik kelompok-kelompok tertentu untuk mendukung Sekber Golkar.
Dalam menempatkan kepengurusan Sekber Golkar, Ali Murtopo  memilih kelompok Katolik dan Protestan  menduduki jabatan puncak kepemimpinan partai. Sejak  masa ini sampai tahun 1983 tidak satupun kelompok Islam yang menduduki kepengurusan partai, kalaupun ada orang Islam yang menjadi pimpinan partai  mereka adalah Islam abangan.
Sewaktu Pemilu 1971 digelar yang muncul sebagai peraih suara terbesar adalah Sekber Golkar, sedangkan Nahdlatul Ulama, Parmusi, Perti, dan PSII  perolehan suaranya jauh di bawah  suara Sekber Golkar. Meskipun Sekber Golkar memenangi Pemilu 1971, tetapi perolehan suara partai-partai Islam tetap saja dianggap ancaman Orde Baru.
Dalam upaya mengonsolidasi kekuasaannya, Orde Baru menjalankan rekayasa politik  dengan menggabungkan partai-partai Islam (Nahdlatul Ulama, Parmusi, Perti, dan PSII) ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP),  Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia dan sebagainya disatukan dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sedangkan Sekber Golkar kemudian menjadi Golkar.
Menyatunya partai-partai Islam ke dalam PPP bukannya memperkuat partai, tetapi semakin memperlemah keberadaan partai-partai Islam. Bahkan penyatuan tersebut membuat partai-partai Islam yang bergabung dalam PPP semakin rentan terhadap konflik antar-partai dan perseteruan tokoh partai, terutama antara Nahdlatul Ulama dan Parmusi.
Akibatnya, pada masa ini partai-parati Islam (PPP)  mengalami demoralisasi politik. Seturut dengan menyusutnya kekuatan politik Islam, pasca pemilu 1971 pos-pos kementerian yang diisi kalangan Islam (Nahdlatul Ulama) semakin menghilang.
Jika di masa  kabinet pertama Orde Baru,  kelompok Islam tradisional masih mendapat posisi sebagai Menteri Agama, setelah kabinet berikutnya pos kementerian itu diserahkan kepada orang-orang yang tidak mempunyai basis Islam yang kuat seperti Mukti Ali, Munawir Sazali, dan Alamsjah Ratuprawiranegara.
Sementara itu jabatan di bawah Menteri, semisal Sekretaris Jenderal, Direktorat Jenderal, dan Inspektur Jenderal dalam berbagai kementerian dikuasai militer. Dengan bergesernya pos kementerian agama yang selama ini menjadi prestise politik Islam tradisionalis ke individual non partai semakin merontokkan kekuatan politik Islam.
Hal ini berakibat semakin memburuknya relasi antara Islam dan Orde Baru. Memburuknya relasi antara Islam dan Orde Baru inilah yang  menyebabkan Natsir mengatakan seperti di awal tulisan ini, memperlakukan Islam seperti kucing kurap. Pada 1980-an selain berhasil menyatukan kekuatan militer, Orde Baru memasyarakatkan Pancasila dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat.
Gagasan memberlakukan Pancasila yang asal usulnya dari gagasan negara integralistiknya Supomo ini sudah berlangsung lama terutama sejak Jenderal Abdul Harris Nasution menjadi petinggi militer tahun 1950-an.
Kemudian pemasyarakatan Pancasila ini dilanjutkan dan terus mendapat sokongan dari  ideolog-ideolog militer dan sipil Orde Baru. Bersamaan dengan berlangsungnya pemasyarakatan Pancasila, Orde Baru mengeluarkan istilah ‘esktrim kanan’ yang sering kali dikaitkan dengan  kegiatan Darul Islam.
Di mata penguasa Orde Baru sebutan ‘esktrim kanan’ selalu dihubungkan  sebagai upaya negara memojokkan kelompok Islam yang menolak Pancasila. Penerapan Pancasila ini melahirkan ketegangan politik antara Islam dan Orde Baru. Namun dalam merespons Pancasila terjadi pergolakan politik internal di kalangan umat Islam. Ada yang menerima Pancasila, ada yang menolak ideologi negara ini.
Gerakan cultural
Ruang politik dan ruang publik yang dimonopoli  Orde Baru yang berujung dengan pemerosotan kekuatan politik Islam tidak serta merta terus menerus disikapi secara politik oleh kelompok Islam lainnya.
Ruang politik dan ruang publik yang menjauh dari political civility itu, oleh kelompok Islam yang bergerak di ranah kultural yang tidak mengglorifikasi kekuatan Islam pada kekuatan politik memanfaatkan ruang publik yang tersedia dengan melakukan sekularisasi politik  dengan slogan terkenalnya  ‘Islam ya, partai Islam no’, yang dimulai tahun 1970-an saat Parpol Islam mengalami demoralisasi politik.
Gerakan kultural  ini dipelopori antar lain Nurcholis Madjid, Dawam Rahardjo, Utomo Danandjaya, dan Ahmad Wahib menjauhkan diri dari politik, tetapi  melakukan dakwah sambil memperkuat sumber daya umat (pendidikan).
Gerakan kultural ini relatif bebas dari sensor kekuasaan. Seturut dengan itu  Orde Baru melakukan pembangunan pendidikan, terutama madrasah dan dibukanya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) serta perguruan tinggi sekuler lainnya semakin mempercepat berkembangnya  gerakan kultural Islam ini.
Bersamaan dengan meluasnya pendidikan jumlah kalangan Islam yang memasuki birokrasi makin hari makin membesar. Sementara itu di tingkat nasional partai penguasa Golkar yang  tadinya dikuasai bukan Muslim, setelah tahun 1983 kalangan Muslim dengan contoh par exellencenya Akbar Tanjung berhasil menembus kepengurusan Golkar.
Dalam lanskap politik yang lebih luas bergesernya aliansi politik di kalangan militer yang dipayungi para jenderal awal berdirinya Orde Baru makin hari makin melemah dan satu demi satu menghilang dari arena politik.
Sejalan dengan itu para petinggi militer yang memegang kekuasaan yang  notabene penerus  para pendahulunya itu membangun klik-klik politik militer semisal makin menguatnya posisi kelompok Benny Moerdani menyebabkan terdisrupsinya kekuasaan Soeharto.
Pergeseran aliansi politik inilah yang kemudian mendorong Soeharto mendekatkan diri pada kelompok Islam sambil mencitrakan dirinya sebagai Muslim taat guna menjustifikasi merapatnya penguasa Orde Baru ini dengan kelompok Islam.
Sementara itu gerakan kultural Islam yang disemai Nurcholis Madjid tidak saja berhasil mengislamkan birokrasi tetapi juga melahirkan kelas menengah Muslim yang sadar politik yang menuntut agar Islam diberi tempat dalam format kekuasaan.
Rangkaian pergeseran politik ini diakomodir Orde Baru yang kemudian mendorong perubahan politik, yaitu mendekatnya relasi Islam dan negara (Orde Baru) yang sangat berbeda  dengan  masa sebelumnya. Sejak itu Islam memainkan peranan penting dalam kekuasaan Orde Baru, pasca kejatuhannya, dan sampai sekarang ini. ***** ( Budi Agustono : Penulis adalah staf pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra USU )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar