Minggu, 29 April 2012

islam dan demokrasi


Islam dan Demokrasi
 
Apa kaitan antara Islam dan demokrasi di Indonesia? Apakah Islam sejalan dengan demokrasi atau sebaliknya? Bagaimana kira-kira konstribusi Islam dan demokrasi di Indonesia pada masa datang? Apakah Islam di Indonesia masih punya masa depan? Empat untai pertanyaan sederhana namun penting ini relevan diajukan pada khazanah Islam yang mendedahkan wacana Islam dan demokrasi di Indonesia.
Membedah wacana Islam dan demokrasi tentu saja tidak bisa lepas dari panggung pergulatan politik, negara, kekuasaan, dan pemerintahan di satu sisi, serta relasi antara Islam dengan entitas lain di luar Islam, pada sisi yang lain. Islam yang dimaksudkan bukanlah sebuah basis nilai dan ajaran yang sama dan tunggal. Islam hanya bisa dilihat dan dirasakan dari ekspresi para pemeluknya. Justeru karena Islam hanya bisa dilihat dan dirasakan dari ekspresi para pemeluknya, maka Islam pun sudah pasti berwajah banyak. Jika Islam berwajah banyak, maka ekspresi politik Islam pun, tentu saja, amat beragam. Islam kadang sejalan dengan demokrasi, tapi kadang juga berseberangan. Setidaknya, inilah poin penting dan pelajaran yang bisa kita ambil setelah menelaah buku-buku yang temanya saling bersentuhan, meskipun tidak bisa dikatakan sama persis alur bercerita dan isinya.
Jika dibandingkan antara buku yang satu dengan yang lainnya, maka ada (nuansa) persamaan-persamaannya, tapi juga ada (nuansa) perbedaan-perbedaannya. Dibandingkan buku lainnya, karya Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (2001, Edisi Bahasa Indonesia), tampaknya lebih menarik dan bermutu, baik dari cara penyajiannya maupun bobot isinya. Untuk itu, khazanah dalam tulisan ini, lebih difokuskan pada karya Hefner. Entah kenapa para ilmuwan dan Indonesianis yang berasal dari Barat (atau luar Indonesia) sebut saja di antaranya Martin van Bruinessen, Greg Fealy, Greg Barton, Daniel Lev, William Liddle, Harold Crouch, Mitsuo Nakamura, dan Hefner sendiri, seringkali menelorkan karya yang lebih menarik dan berbobot, dibandingkan dengan karya para ilmuwan Indonesia jika membahas tema yang (hampir) sama berkaitan dengan fenomena Indonesia. Ilmuwan asing tampaknya lebih cermat, tekun, teliti, profesional, dan luas perspektif keilmuannya dibandingkan dengan ilmuwan Indonesia. Ini bukan pandangan yang bias asing, melainkan berbicara tentang kenyataan.
Kita bisa periksa dan bandingkan antara karya ilmuwan asing dengan ilmuwan Indonesia, tentang berbagai hal yang berbau Indonesia yang cukup banyak bertebaran di tanah air. Sebutlah buku yang sama-sama punya titik sentral telaah wacana Islam dan Politik di Indonesia pada era Orde Baru. Cuma untuk sekadar perbandingan, beberapa buku memulainya dengan wacana Islam dan politik pada era Orde Lama.
Untuk menepis kesalahpahaman tentang bukunya yang mengekspos wacana “demokrasi”, terlebih dahulu Hefner mengajak pembaca untuk meletakkan wacana “demokrasi” pada proporsinya yang pas. Hal ini penting karena hingga sekarang, demokrasi—yang antara lain berisi nilai-nilai pluralisme, kebebasan, persamaan, keadilan, toleransi, dan partisipasi—di satu sisi mempesona banyak orang, tapi di sisi lain juga mengundang skeptisisme. Kelompok yang skeptis biasanya memandang demokrasi sebagai wacana yang berasal dari Barat, yang tentu saja tidak mungkin sesuai dengan budaya lain di luar Barat. Bahkan ada yang menganggap bahwa demokrasi, juga civil-society (dari sini mungkin Hefner mendapat istilah “civil-Islam”), merupakan cangkokan dari Barat, dan bagian dari proyek imperialisme Barat yang terselubung dengan retorika yang manis, enak, dan menarik. Inilah kecongkakan dan kekejaman Barat yang membungkus proyek Imperialisme dengan retorika yang indah dan luhur.
Hefner sebagai orang Barat mungkin saja bisa dianggap bias Barat. Demokrasi secara geneologis berasal dari Barat. Tapi, Hefner dan Barat ternyata juga punya argumentasi yang (cukup) baik untuk menepis prasangka-prasangka itu. Dalam dua titik ekstrem sikap terhadap demokrasi, baik yang menerima secara utuh maupun menolaknya, maka biasanya muncul “jalan tengah” yakni sikap kritis untuk belajar dari nilai-nilai demokrasi yang berasal dari Barat dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Yang bisa dikontekstualisasikan dengan budaya lokal pun bisa dipakai, sementara yang tidak bisa dikontekstualisasikan dengan budaya lokal sebaiknya ditepiskan. Hefner sendiri punya keyakinan bahwa jika dikontekstualisasikan dengan tepat, wacana demokrasi bukanlah konstruksi ikatan budaya yang hanya relevan dengan konteks masyarakat Barat.
Kunci sebenarnya ke arah daya tarik lintas kultural demokrasi bukanlah peniruan atau “westernisasi”. Melainkan dialog dan kontekstualisasi. Menurut Hefner, beberapa pemikir muslim telah punya opini bahwa suatu perspektif dialogis lintas kultural adalah titik masuk yang lebih baik untuk memaknai demokrasi modern ketimbang pendekatan filologis sempit yang membekukan gagasan-gagasan masa lalu Barat yang mistis. Dalam konteks ini, Hefner memutuskan untuk malampaui batas-batas pelatihan akademiknya dan bersepakat bagaimana seseorang berpikir tentang demokrasi dan reformasi agama dalam tradisi non-Barat. Penerimaan gagasan demokrasi di luar Barat tidaklah menjanjikan kebenaran, tapi lebih memperkaya.
Kunci kemungkinan demokrasi tidaklah tunggal melainkan beragam. Ia dibangun berdasarkan intervensi strategis pada beberapa titik dalam lingkaran demokrasi, yaitu asosiasi sipil, pers, dan peradilan bebas, distribusi kesejahteraan dan kesempatan yang merata dan tentunya pula dukungan publik terhadap rakyat dan pimpinan yang memiliki komitmen terhadap tujuan ini. Menurut Hefner, tidak ada demokrasi yang cocok untuk semua, melainkan beragam bentuk yang dihubungkan oleh kemiripan keluarga. Nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan, persamaan, dan toleransi dalam keragaman tidak hadir dalam instruksi yang dapat dipaksakan untuk seluruh tempat dan waktu. Nilai-nilai ini mengikuti pedoman praktis dan partikularitas tempat dimana ia dilaksanakan. Bahkan, di Eropa Barat modern, kita tahu keseimbangan capaian antara nilai-nilai demokrasi beragam menurut tempat dan waktu (hlm. 356). Sejarah tidak pernah berakhir, tidak ada kemenangan idealitas demokrasi yang definitif. Zaman kita tetap zaman percobaan demokrasi, dan apakah lebih baik atau lebih buruk, putusan sejarah akan beragam. 
***
Asumsi Hefner tentang demokrasi sebagaimana diurai di depan perlu dikenali karena kacamata “demokrasi”-lah yang dipakai Hefner untuk menilai perjalanan Islam di Indonesia. Sebagai seorang antropolog sosial, Hefner mencoba menampilkan karya yang bersifat antropologis. Ini sebenarnya sebuah tantangan karena Islam dan demokrasi merupakan topik yang begitu luas. Hefner melakukan penelitian tentang Islam dan demokrasi di Indonesia. Ada kecenderungan baru dalam bidang antropologi dan ilmu humaniora yang coba dijejaki Hefner.
Antropologi pada awal 1990-an mangalami transformasi besar. Dengan meninggalkan masyarakat berskala kecil yang telah menjadi perhatian lama, antropologi dan gerakan para antropolog beralih ke studi masyarakat yang kompleks dan mendorong pencarian spirit yang dalam di bidang tersebut. Dalam soal penelitian tentang Islam dan demokrasi di Indonesia sebagaimana dilakukan Hefner, beberapa ilmuwan Indonesia heran, apa yang bisa dikatakan seorang antropolog tentang topik yang begitu luas seperti Islam dan demokrasi?
Proyek penelitian Islam dan demokrasi di Indonesia ini memang berbeda dengan yang umumnya dilakukan di bidang antropologi. Para antropolog Indonesia telah lama mencitrakan diri mereka sebagai spesialis petani, komunitas-komunitas berlingkup kecil, dan masyarakat pinggiran lainnya. Sementara di sisi lain topik Islam dan demokrasi menjadi bidang garapan para ahli politik, sosiolog, dan para ahli lainnya yang lebih merupakan fokus dari pergerakan pusat pada era modern ketimbang pinggiran yang penuh pertentangan.
Dengan alasan yang berbeda, teman-teman Hefner di lingkungan antropologi Amerika juga skeptis tentang ide antropologi demokrasi sebagaimana (akan) dirintis oleh Hefner. Muncul beberapa pertanyaan, apakah gagasan-gagasan seperti demokrasi dan masyarakat sipil bisa menjadi segala sesuatu lebih dari sekadar konstruksi budaya masyarakat Barat modern. Akan tetapi Hefner jalan terus, dan ternyata berhasil memuncukan karya yang gemilang dan mendapat pujian banyak orang. Dibandingkan buku lain, semisal karya Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia, Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde baru dan Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, kemasan buku Hefner—terutama dilihat dari sampul bukunya—terkesan lebih ilustratif, imajinatif, dan ekspresif.
Buku Hefner ini merupakan karya antropologi sosial dan sosiologi sejarah. Justeru karena merupakan karya antropologi sosial dan sosiologi sejarah, maka metodologi yang dipakai Hefner bukanlah metodologi sejarah klasik, dengan titik tekan kehati-hatian terhadap kronologi peristiwa, yang telah lama dianggap baku. Berbeda dengan ini, uraian Hefner meliputi sampel-sampel selektif tentang momen dan peristiwa-peristiwa kunci, juga wacana-wacana penting di sekitar demokrasi kaitannya dengan Islam di Indonesia. Dari sini dia mencoba menarik kesimpulan umum tentang bagaimana politik Islam bekerja, dan bagaimana hal itu berhubungan dengan proses demokratisasi.
Dalam soal itu, karya Hefner tampaknya berbeda dengan karya-karya lainnya tentang ekspresi politik Islam di Indonesia, seperti tulisan Aminudin, Karim, dan utamanya Thaba, yang memakai pendekatan sejarah klasik dan memberi titik tekan pada kronologi peristiwa. Karya Hefner yang dihasilkan dari penelitian panjang—baik riset pustaka, lapangan, dan interview—sepanjang tahun 1991-1998 (tujuh tahun!) digarap dengan format dan alur yang sederhana, lugas, enak dibaca, tapi juga mendalam. Ini berbeda dengan tiga karya lainnya tulisan Aminudin, Thaba, dan Karim, yang teknik penuturannya kurang lancar, strukturnya njlimet, terutama terasa dalam awal-awal tulisan yang bertele-tele dan agak menjenuhkan.
Hal itu tampaknya bisa dimaklumi karena tiga tulisan yang telah diterbitkan ini berasal dari karya akademis yang berwatak (terlalu) ketat dan kering, masing-masing Aminudin (berasal skripsi S1), Thaba (berasal dari tesis S2), dan Karim (berasal dari disertasi S3). Jika penerbit tiga karya ini cukup jeli terhadap format buku yang familiar dan enak dibaca, harusnya tiga karya ini mengalami fase penyuntingan yang ketat sebelum diluncurkan ke khalayak pembaca. Misalnya saja dengan cara memangkas format skripsi-tesis-disertasi-nya yang kaku dan ketat, kemudian mengadaptasinya menjadi buku yang enak dibaca. Selain itu, dibandingkan dengan Aminudin, Thaba, dan Karim, Hefner lebih punya kejelian dalam menghadirkan wacana-wacana yang penting dan menarik di sekitar Islam dan demokratisasi di Indonesia. 
***
Karya Hefner ini mencoba menyajikan sebuah antropologi-sosial tentang demokratisasi di dalam mayoritas masyarakat muslim yang dilihat melalui capaian-capaian dan kemunduran-kemundurannya. Hampir sama dengan tiga buku lainnya karya Aminudin, Thaba, dan Karim, karya Hefner mendedahkan kelebihan dan kekurangan Islam dalam pentas politik, kekuasaan, pemerintahan, dan negara. Dalam fase sejarah tertentu, Islam sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, tapi dalam momen sejarah lainnya Islam berseberangan atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Islam kadang ikut mencerahkan, tapi juga sekaligus menggelapkan kebudayaan dan peradaban.
Menurut Hefner, politik Islam (atau juga Islam politik-pen) tidak monolitik, tetapi plural, sebagaimana politik pada semua peradaban (hlm. 21). Inilah tesis penting untuk menelaah Islam dan demokratisasi di Indonesia, sebagaimana diurai secara cukup panjang lebar oleh empat buku ini. Islam begitu kaya warna dan banyak wajah, sehingga tidak selalu bisa dipetakan secara baik, memuaskan, dan representatif. Jika fenomena Islam dan demokrasi serta Islam dan politik dituliskan dan dibakukan, seringkali masih saja ada hal-hal yang terlewatkan dan tak terkatakan.
Melalui penelitiannya yang tajam dan mendalam, dan dengan perspektif “antropologi demokrasi”-nya, menurut penerbit buku ini—ISAI—Hefner menunjukkan modal sosial dari sejarah Islam Indonesia bagi sumbangannya untuk demokratisasi. Akan tetapi, sekaligus dengan itu, ia memberikan titik lemahnya yang bisa memukul balik upaya-upaya demokratisasi. Sebagai seorang antropolog dan Indonesianis, Hefner telah seperempat abad lebih memperhatikan Indonesia. Dengan begitu, Hefner telah punya otoritas yang cukup memadai untuk mengkaji Indonesia. Hefner telah dikenal dengan beberapa kajiannya menyangkut hubungan agama, kapitalisme, negara, dan demokratisasi, dengan rujukan kasusnya Islam di Indonesia.
Buku Hefner yang diterjemahkan ke edisi Indonesia sesuai dengan judul edisi Inggrisnya ini mencoba mendeskripsikan sekaligus menganalisis peristiwa dan momen-momen penting dalam belantara sosial-politik Indonesia, kaitannya dengan proses demokratisasi, khususnya peran yang disumbangkan oleh Islam. Deskripsi dan analisisnya dimulai dari era Orde Lama-nya Soekarno tahun 1940-an hingga tumbangnya rezim Orde Baru-nya Soeharto di tahun 1998.
Dalam fase sejarah itu, karena Islam hadir dalam wajahnya yang sangat beragam, maka di satu sisi, Islam punya peran serta yang (cukup) signifikan dalam proses demokratisasi, tapi di sisi lain, Islam (kadang) juga menghambat proses demokratisasi. Analisis terhadap faktor Islam kaitannya dengan proses demokratisasi di Indonesia tentu sangat penting karena pemeluk Islam merupakan populasi mayoritas penduduk di Indonesia. Bahkan Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia yang pemeluk Islamnya terbesar.
Selain persentuhannya dengan negara dan kekuasaan, dalam konteks demokrasi, menelaah Islam kaitannya dengan pluralitas masyarakat yang tinggi dan menghampar di Indonesia pun sebenarnya, menjadi sedemikian menarik. Inilah yang coba dilakukan oleh Hefner, Aminudin, Thaba, dan Karim. Demokrasi memang bukan hanya persoalan hubungan antara masyarakat (sipil) dengan negara (pemerintahan), tetapi juga menyangkut hubungan antar masyarakat itu sendiri yang basis nilai dan basis kesadarannya—untuk konteks Indonesia—sedemikian beragam.
Demokrasi sudah barang tentu mengandaikan tatanan pemerintahan dan struktur masyarakat yang (lebih) sehat, baik, dan beradab. Cuma, sehat-baik-beradab yang “bagaimana” dan menurut “siapa” itulah yang menjadi persoalan. Untuk itu, biarkan tafsir sejarah menghampar luas. Semakin banyak tafsir sejarah dan semakin banyak perspektif yang dimunculkan, maka akan semakin bagus. Dari pluralitas tafsir inilah generasi umat manusia akan bisa belajar secara bijak dari masa lalu pendahulunya. Pembacaan terhadap momen sejarah tertentu tidak akan pernah berhenti. Pembacaan ulang terhadap sejarah akan terus berlangsung, sampai kapan pun; apalagi terhadap peristiwa yang masih diselimuti kabut misteri, katakanlah seperti G 30 S PKI dan tumbangnya Orde Lama. Pembacaan terhadap belantara politik Islam dan Islam politik yang otomatis berkaitan dengan wacana demokrasi, juga akan terus berlangsung dalam konteks yang beragam. Ini hanya salah satu sampel di antara sekian banyak “pembacaan” terhadap Islam dan demokratisasi di Indonesia. 
***
Di era Soekarno, di satu sisi, Islam kadang mendukung dan menjadi bagian dari kekuasaan, sementara di sisi lain kadang menentang dan berada di luar kekuasaan. Pola seperti ini juga kita temui pada era Soeharto. Bahkan, jika dicermati, juga terjadi pada pemerintahan sesudahnya, yakni Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati. Fragmen sejarah Islam dan demokratisasi cukup penting—terutama di masa rezim Soeharto-lah—yang coba dipotret oleh empat buku ini. Dalam konteks relasi dan tarik menarik antara Islam (lebih tepatnya “pemeluk Islam”) dengan rezim kekuasaan, maka rezim kekuasaan tampaknya memainkan peran yang lebih dominan.
Ini bisa dimaklumi karena kekuasaan punya power dan aparat-coersive. Rezim kekuasaan seringkali bertindak pragmatis. Demi mempertahankan kekuasaannya, maka rezim kekuasaan melakukan manuver apa saja: kadang merangkul, tapi kadang juga memberangus Islam. Untuk itu masuk akal juga jika ada ide sekularisasi, dimana agama (khususnya Islam) coba dipisahkan dari negara. Jika mendekat ke entitas negara dan kekuasaan, maka agama (Islam) sangat rentan karena bisa diperalat untuk melanggengkan kekuasaan, bahkan untuk menguasai dan menindas masyarakat. Wacana sekularisasi mendapat porsi bahasan yang panjang lebar oleh Hefner, melebihi tiga buku lainnya karya Aminudin, Karim, dan Thaba. Wacana sekularisasi yang telah lama bertiup (lagi-lagi!) dari Barat telah terjadi di era Soekarno, dan terus berlangsung di era Soeharto, bahkan era-era presiden setelahnya, yakni Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati.
Untuk menetralisir ide-ide sekularisasi, Soekarno misalnya, mencoba merangkul komunitas agama—khususnya Islam—lewat ideologi nasakom-nya, yakni mencoba menyatukan tiga unsur penting: nasionalisme, agama, dan komunisme. Rezim kekuasaan seringkali alergi terhadap Islam politik dan Islam ideologis yang kadangkala sangat obsesif menegakkan tatanan kehidupan berdasarkan syariat Islam, hukum Islam, dan puncaknya mendirikan negara Islam. Beberapa diantaranya bahkan melakukan pemberontakan radikal bersenjata, ingin memisahkan diri dari NKRI dan mendirikan negara Islam. Benih-benih Islam ideologis muncul bahkan sebelum pemerintahan Soekarno, di masa pemerintahan Soekarno, dan di masa Soeharto. Di era reformasi pun benih-benih Islam politik dan Islam ideologis tetap ada, bahkan mungkin sampai kapan pun.
Dari situlah, rezim Soeharto lantas mengidap Islamo phobia (ketakutan terhadap Islam) yang berlebihan, kemudian melakukan langkah-langkah represif dengan cara mendepolitisasi Islam, atau minimal menyudutkan Islam ke pinggir, terutama pada sepuluh tahun pertama pemerintahan rezim Soeharto. Puncaknya adalah ketika terjadi ideologisasi dan pengasastunggalan Pancasila. Ini terutama dikaji secara intensif oleh Karim di bawah titel “Negara dan Peminggiran Islam Politik”.
Baru pada era 1990-an, ketika rezim Soeharto merasa menghadapi tekanan yang gencar dari berbagai kelompok pro-demokrasi, maka Soeharto pun mencoba merangkul, memanfaatkan, atau bahkan memperalat kelompok Islam yang dulu didepolitisasi dan diusir ke pinggir sejarah. Untuk mempertahankan kekuasaannya, Soeharto seringkali mempromosikan Islam “kultural” sambil dengan tegas menekan Islam “politik”. Soeharto pun tidak segan-segan melakukan ritual-ritual Islam, yang menurut beberapa pengamat, lebih tampak sebagai fenomena politik daripada spiritual. Tujuannya jelas untuk mengelabui umat Islam dan mengharapkan dukungan dari umat Islam sebagai kelompok mayoritas agar kekuasaan Soeharto tidak tergoyahkan. Aminudin secara tepat mengistilahkan aktivitas keagamaan Soeharto di era 90-an sebagai “kosmetik politik” belaka (hlm. 305). Sebagaimana diungkap Hefner mengutip Douglas Ramage, tindakan pemerintah menggambarkan kebijakan kolonial Belanda yang toleran terhadap Islam (kultural-pen), tapi menindas secara bengis terhadap semua bentuk politik Islam (hlm. 216).
Di era 90-an, untuk mengamankan kekuasaannya setelah dia mendapat “serangan” dari berbagai kelompok pro-demokrasi, Soeharto mencoba mendekati dan memikat komunitas Islam dengan berbagai manuver yang halus tapi licik. Thaba mencatat beberapa di antaranya, misalnya: pendirian masjid yang terus digencarkan, pengiriman dai-dai yang sudah dilitsus ke berbagai pelosok tanah air, pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI), pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), pendirian pers Islam (misalnya Republika), islamisasi atau “hijauisasi” lembaga pemerintahan terutama di kabinet pembangunan VI dan lembaga DPR. dan beberapa lagi lainnya. Pada era 90-an dan terutama menjelang akhir kekuasaannya tahun 1998, Soeharto mencoba merangkul kelompok Islam seluas mungkin, khususnya kelompok Islam (ultra)konservatif. Menurut Hefner, pada era ini, Soeharto sedang memainkan kartu Islam untuk menghadapi kalangan militer dan gerakan pro-demokrasi yang telah mulai menantang kekuasaannya (hlm. 225).
Pada masa ini, ketika Soeharto gencar-gencarnya mendekati dan memainkan faktor Islam untuk menyelamatkan kekuasaannya, maka kemudian muncul istilah “Islam yang Tertundukkan” dan “Islam Rezimis” yang dilansir oleh Hefner untuk menunjuk kelompok Islam dari sayap sipil dan militer yang membentengi kekuasaan Soeharto. Yang banyak disorot oleh Hefner, terutama adalah manuver Prabowo, seorang jenderal militer menantu Soeharto yang licik dan ambisius, yang mencoba membentengi kekuasaan Soeharto dan merintis ambisi jabatan pribadinya, dengan cara menjalin konspirasi dengan kelompok Islam ultra-konservatif (ini merupakan istilah khas dari Hefner sendiri). 
***
Baik di era Soekarno, atau apalagi di era Soeharto, komunitas Islam tertentu lewat para pemuka agamanya, ironisnya kadangkala justeru menjadi alat legitimasi untuk mendukung kekuasaan yang otoriter dan tidak demokratis. Dalam berbagai kasusnya yang cukup banyak, hal ini dibentangkan dan dianalisis secara cukup baik oleh—terutama—Hefner dan Aminudin. Agama, khususnya Islam, dalam pentas sejarah tanah air, sebagaimana secara dipotret oleh empat buku ini bisa menyiratkan paradoks: kadang bisa menebar kedamaian, sekaligus memicu kekerasan.
Kekerasan terbesar dan tragedi kemanusiaan dalam sejarah tanah air dan ironisnya melibatkan komunitas Islam, misalnya terjadi setelah peristiwa G 30 S PKI, di akhir tahun 1965 dan sepanjang tahun 1966. Dalam tragedi saling bantai anak bangsa ini, diperkirakan sekitar lima ratus ribu nyawa manusia melayang. Hefner pernah meneliti peristiwa ini di Jawa Timur dan mempresentasikannya secara mendebarkan di depan kaum muda NU yang cerdas, bersemangat, tapi juga bijak. Agama kadangkala bisa juga menjadi pemicu pertikaian dan kekerasan, bahkan antar pemeluk agama yang berlainan, atau bahkan antar berbagai aliran dalam satu agama sekali pun. Aminudin dan Karim, misalnya, mencoba membahas persaingan atau konflik tersembunyi antara Islam dan Kristen, dalam fase-fase tertentu sejarah Orde Baru. Kenyataan yang ironis ini tidak diekspos—atau hanya disapa secara sepintas lalu—oleh dua buku lainnya tulisan Hefner dan Thaba. Mungkin bagi Hefner dan Thaba, kenyataan “kecil” yang “kurang nyaman” seperti itu tidak layak ditampilkan dalam momen penting sejarah.
Banyak sekali momen sejarah Islam dan demokratisasi di tanah air yang diekspos oleh empat buku ini. Berhubung ruangannya yang terbatas, maka tidak memungkinkan untuk ditampilkan secara lengkap dan agak detil. Wacana yang cukup penting dalam konteks demokratisasi bangsa dan selalu terulang pada berbagai fase sejarah tanah air, sebagaimana diurai Hefner, Aminudin, dan Thaba, adalah dialog, debat, bahkan pertikaian, antara komunitas Islam literalis dengan komunitas sekuler. Kelompok yang belakangan ini bisa berasal dari akar agama tapi juga bisa berakar dari “luar” agama. Debat antara komunitas Islam Literalis versus komunitas sekuler (yang paling lantang misalnya diwakili komunitas Islam Liberal) di seputar agama dan negara, masih ramai terjadi di era reformasi.
Dalam konteks ini, jika ditarik dalam fenomena yang lebih luas dan umum, menurut Hefner, selama dekade awal abad ke-20, gagasan nasionalisme merupakan fokus perdebatan politik paling seru di dunia Islam. Lebih dari seabad umat Islam bergumul dengan persoalan bagaimana mempertemukan politik Islam dengan gagasan kebangsaan dan kewarganegaraan. Ini kian terbukti pada akhir abad 20, tulis Hefner, dalam pertarungan antara nasionalisme sekuler (atau non-konfensional) dan nasionalisme Islam (hlm. 78).
Dalam konteks Indonesia, Pancasila yang dirumuskan Soekarno, sebagaimana disitir Hefner, merupakan perpaduan yang unik antara ide-ide nasionalisme, Islam, marxisme, demokrasi liberal, dan ide-ide kerakyatan Indonesia. Dalam pandangan Soekarno, perpaduan berbagai ide tersebut diharapkan bisa memuaskan kalangan nasionalis sekuler dan nasionalisme Islam.
Dari bahasan sederhana di atas, bisa ditarik suatu pelajaran bahwa di masa depan Islam bisa punya sumbangsih terhadap demokrasi, bisa juga tidak. Dalam persoalan demokratisasi—sebagaimana juga ditemui pada berbagai negara di belahan dunia dalam berbagai fase sejarah—Islam ternyata berwajah dua. Di satu sisi Islam bisa sejalan dengan demokrasi, tapi di sisi yang lain justeru bertentangan. Hal ini sangat tergantung pada bagaimana Islam diekspresikan oleh para pemeluknya.
Warna Islam sedemikian banyak dan beragam, sehingga persentuhan Islam dengan demokrasi, politik, negara, pemerintahan, dan masyarakat manusia di luar Islam pun, bisa sangat banyak ragamnya. Maka yang penting bukan faktor Islamnya itu sendiri, melainkan ekpresi para pemeluk Islam dalam dunia yang riil.
Lebih dari kenyataan itu, menurut Hefner, sejarah tidak pernah berakhir, tidak ada kemenangan idealitas demokrasi yang definitif. Zaman kita tetap zaman percobaan demokrasi dan apakah lebih baik atau lebih buruk, putusan sejarah akan beragam.***
 
M. Arief Hakim, Alumnus IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, pengulas buku dan pengamat dunia pustaka.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar