Jumat, 27 April 2012

Islam dan HAM


Islam dan HAM


REP | 02 December 2011 | 09:37 http://stat.ks.kidsklik.com/statics/kompasiana4.0/images/ico_baca.gifDibaca: 369   http://stat.ks.kidsklik.com/statics/kompasiana4.0/images/img_komen.gifKomentar: 2   http://stat.ks.kidsklik.com/statics/kompasiana4.0/images/ico_nilai.gifNihil
Menurut Jumana Shehata, ada dua pandangan mengenai HAM dalam Islam, pandangan kaum relativis dan kaum universalis. Kaum relativis mengatakan bahwa HAM dan Islam adalah perdebatan kultural yang tak pernah berhenti. Sebagian ilmuwan mengatakan bahwa Hak Asasi Manusia lahir dari peradaban Barat yang dipengaruhi keinginan menghapus imperialisme era Imperium Kristen saat itu. Oleh karena lahir dari Barat yang sekarang dominan dengan asas liberalisme dan individualisme inilah beberapa orang menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia tidak bisa diberlakukan di negara-negara Islam dimana kepatuhan seseorang kepada aturan dan nilai-nilai keluarganya menjadi barometer yang sangat penting bagi penilaian di mata masyarakat sekitarnya. Ini jelas berbeda dengan asas liberalisme dan individualisme yang membebaskan seseorang untuk memilih jalan hidupnya, sekalipun itu bertentangan dengan prinsip-prinsip yang sakral dalam keluarganya.
Pendapat relativis yang lain disampaikan oleh Fred Halliday yang mengatakan bahwa nilai-nilai Islam tidak bisa masuk dalam nilai-nilai HAM. Islam tidak memberikan kebebasan yang mutlak kepada setiap individu dan Islam tidak menerima sekulerisasi yang mana itu merupakan ciri dari HAM. Tapi pendapat ini kemudian dinyatakan
Sebaliknya, kaum universalis mengatakan bahwa Islam seharusnya menjadi bagian yang aktif dalam perdebatan mengenai penerapan nilai-nilai HAM ini karena HAM bukanlah dibentuk berdasarkan hasil pemikiran Barat saja, untuk kalangan khusus saja (non-muslim), tapi juga untuk seluruh penghuni bumi ini, termasuk didalamnya adalah umat Islam. Universalitas nilai-nilai HAM ini sebenarnya telah menjadi penyataan resmi dalam Deklarasi Universal tentang HAM (Universal Declaration of Human Rights) yang mengatakan: “a common standard of achievement for all peoples and all nations”. Dalam artikel I dalam deklarasi juga disebutkan bahwa “all human beings are born free and equal in dignity and in rights”.
Islam juga agama yang terus memperjuangkan kesamaan dan keadilan, tapi memang keadilan akan berarti tidak sama, karena keadilan itu meletakkan sesuatu tepat pada tempatnya dan porsinya. Tapi bagaimanapun, hukum Islam yang demikian sangatlah minim dibanding dengan hukum-hukum yang memiliki kesamaan dengan prinsip HAM. Oleh karenanya, yang terpenting adalah bagaimana memadukan prinsip-prinsip Islam dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati dalam deklarasi HAM dengan tetap menghormati kultur-kultur keagamaan. Oleh karena itu, Abdullah an-Naim berpendapat perlu adanya rejuvenasi atau redefinisi nilai-nilai Islam dalam konteks HAM untuk merukunkan konflik yang seharusnya dapat disatukan ini.
Memang sulit menyatukan hukum syariah dengan prinsip HAM, khususnya ketika membahas tentang hak kebebasan perempuan, tapi bukan berarti itu tidak mungkin. Islam adalah agama yang malah memberikan wewenang kepada kaum perempuan yang itu tidak didapatkannya saat Islam belum datang di jazirah Arab. Bahkan melalui Islam, perempuan mendapatkan perlindungan saat pernikahan melalui kontrak pra nikah dan juga keharusan suami memberikan nafkah kepada istri, dan tidak berlaku sebaliknya. Tidak hanya itu, Islam sebenarnya juga memberikan kebebasan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam hak berpolitik dan melakukan kegiatan sosial. Hal ini persis dengan apa yang telah dirumuskan dalam hukum internasional dan juga dalam prinsip-prinsip HAM.
Maka menyatukan Islam dan HAM bukan hanya perlu, tapi merupakan suatu keharusan. Islam adalah agama yang ajarannya diturunkan secara bertahap pada tempat, waktu dan situasi yang berbeda-beda yang kemudian diinterpretasikan melalui jalur fikh. Fikh menjadi satu-satunya dasar hukum dalam Islam yang harus mampu mengakomodir temuan-temuan baru dan memberikan penegasan hukum atas temuan tersebut, sehingga hukum Islam tidak stagnan dan tetap terbuka dalam menerima perubahan interpretasi.
Di sisi lain, diperlukan juga redefinisi dalam tubuh HAM itu sendiri, sehingga HAM pun tidak hanya mengutarakan konsep-konsep yang tidak menghormati nilai-nilai Islam. Salah satu contoh, dalam deklarasi dinyatakan bahwa negara diperbolehkan tidak mengikuti aturan HAM dalam kondisi-kondisi darurat. Dan itu tidak ada dalam prinsip hukum Islam, karena hukum Islam berlaku tetap dan seterusnya. Dan lagi, HAM seringkali diinterpretasikan ke dalam bentuk hukum yang berbeda-beda dalam setiap negara yang itu membuat jarak (gap) antara Islam dan politik semakin jauh. Rasionalisasi penerapan nilai-nilai HAM ini memang terkadang menyebabkan tersingkirnya nilai-nilai lain, termasuk nilai agama. Maka perlu adanya refleksi HAM dalam kerangka berpikir yang Islami sehingga nilai keduanya dapat disatukan.
Melihat kesamaan-kesamaan diatas, maka perdebatan mengenai dua prinsip ini sebenarnya terjadi di arena perspektif umat Islam dan Barat. Banyak yang mengira bahwa kesepakatan-kesepakatan internasional dalam deklarasi HAM merupakan ide-ide yang berasal dari agama Kristen atau dari pandangan Barat. Sebenarnya kalau diamati, sebagian besar dari prinsip-prinsip tersebut juga merupakan prinsip dasar dalam Islam. Maka diperlukan adanya dialog internasional antara dunia Barat dan dunia Islam untuk merevisi HAM agar menjadi prinsip yang benar-benar universal. Selain itu, untuk menghindari kesemena-menaan hukum terhadap perempuan, para perempuan muslim juga harus berpartisipasi aktif dalam mempengaruhi proses pembuatan hukum baik dalam negeri maupun internasional.
Tapi Shehata juga menegaskan bahwa perdebatan antar nilai ini tidak akan berakhir begitu saja, karena pasti akan ditemukan nilai-nilai yang bertentangan. Oleh karenanya, pintu dialog, evaluasi dan analisa kritis terhadap “apa itu nilai-nilai kemanusiaan yang universal” harus tetap dibuka. We need more wisdom!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar