Islam dan HAM
Menurut Jumana Shehata,
ada dua pandangan mengenai HAM dalam Islam, pandangan kaum relativis dan kaum
universalis. Kaum relativis mengatakan bahwa HAM dan Islam adalah perdebatan
kultural yang tak pernah berhenti. Sebagian ilmuwan mengatakan bahwa Hak Asasi
Manusia lahir dari peradaban Barat yang dipengaruhi keinginan menghapus
imperialisme era Imperium Kristen saat itu. Oleh karena lahir dari Barat yang
sekarang dominan dengan asas liberalisme dan individualisme inilah beberapa
orang menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia tidak bisa diberlakukan di
negara-negara Islam dimana kepatuhan seseorang kepada aturan dan nilai-nilai
keluarganya menjadi barometer yang sangat penting bagi penilaian di mata masyarakat
sekitarnya. Ini jelas berbeda dengan asas liberalisme dan individualisme yang
membebaskan seseorang untuk memilih jalan hidupnya, sekalipun itu bertentangan
dengan prinsip-prinsip yang sakral dalam keluarganya.
Pendapat relativis yang
lain disampaikan oleh Fred Halliday yang mengatakan bahwa nilai-nilai Islam
tidak bisa masuk dalam nilai-nilai HAM. Islam tidak memberikan kebebasan yang
mutlak kepada setiap individu dan Islam tidak menerima sekulerisasi yang mana
itu merupakan ciri dari HAM. Tapi pendapat ini kemudian dinyatakan
Sebaliknya, kaum
universalis mengatakan bahwa Islam seharusnya menjadi bagian yang aktif dalam
perdebatan mengenai penerapan nilai-nilai HAM ini karena HAM bukanlah dibentuk
berdasarkan hasil pemikiran Barat saja, untuk kalangan khusus saja
(non-muslim), tapi juga untuk seluruh penghuni bumi ini, termasuk didalamnya
adalah umat Islam. Universalitas nilai-nilai HAM ini sebenarnya telah menjadi
penyataan resmi dalam Deklarasi Universal tentang HAM (Universal Declaration of Human Rights)
yang mengatakan: “a common standard of
achievement for all peoples and all nations”. Dalam artikel I dalam
deklarasi juga disebutkan bahwa “all human beings are born
free and equal in dignity and in rights”.
Islam juga agama yang
terus memperjuangkan kesamaan dan keadilan, tapi memang keadilan akan berarti
tidak sama, karena keadilan itu meletakkan sesuatu tepat pada tempatnya dan
porsinya. Tapi bagaimanapun, hukum Islam yang demikian sangatlah minim
dibanding dengan hukum-hukum yang memiliki kesamaan dengan prinsip HAM. Oleh
karenanya, yang terpenting adalah bagaimana memadukan prinsip-prinsip Islam
dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati dalam deklarasi HAM dengan tetap
menghormati kultur-kultur keagamaan. Oleh karena itu, Abdullah an-Naim
berpendapat perlu adanya rejuvenasi atau redefinisi nilai-nilai Islam dalam
konteks HAM untuk merukunkan konflik yang seharusnya dapat disatukan ini.
Memang sulit menyatukan
hukum syariah dengan prinsip HAM, khususnya ketika membahas tentang hak
kebebasan perempuan, tapi bukan berarti itu tidak mungkin. Islam adalah agama
yang malah memberikan wewenang kepada kaum perempuan yang itu tidak
didapatkannya saat Islam belum datang di jazirah Arab. Bahkan melalui Islam,
perempuan mendapatkan perlindungan saat pernikahan melalui kontrak pra nikah
dan juga keharusan suami memberikan nafkah kepada istri, dan tidak berlaku
sebaliknya. Tidak hanya itu, Islam sebenarnya juga memberikan kebebasan yang
sama antara laki-laki dan perempuan dalam hak berpolitik dan melakukan kegiatan
sosial. Hal ini persis dengan apa yang telah dirumuskan dalam hukum
internasional dan juga dalam prinsip-prinsip HAM.
Maka menyatukan Islam dan
HAM bukan hanya perlu, tapi merupakan suatu keharusan. Islam adalah agama yang
ajarannya diturunkan secara bertahap pada tempat, waktu dan situasi yang
berbeda-beda yang kemudian diinterpretasikan melalui jalur fikh. Fikh menjadi satu-satunya
dasar hukum dalam Islam yang harus mampu mengakomodir temuan-temuan baru dan
memberikan penegasan hukum atas temuan tersebut, sehingga hukum Islam tidak
stagnan dan tetap terbuka dalam menerima perubahan interpretasi.
Di sisi lain, diperlukan
juga redefinisi dalam tubuh HAM itu
sendiri, sehingga HAM pun tidak hanya mengutarakan konsep-konsep yang tidak
menghormati nilai-nilai Islam. Salah satu contoh, dalam deklarasi dinyatakan
bahwa negara diperbolehkan tidak mengikuti aturan HAM dalam kondisi-kondisi
darurat. Dan itu tidak ada dalam prinsip hukum Islam, karena hukum Islam
berlaku tetap dan seterusnya. Dan lagi, HAM seringkali diinterpretasikan ke
dalam bentuk hukum yang berbeda-beda dalam setiap negara yang itu membuat jarak
(gap) antara Islam dan politik semakin
jauh. Rasionalisasi penerapan nilai-nilai HAM ini memang terkadang menyebabkan
tersingkirnya nilai-nilai lain, termasuk nilai agama. Maka perlu adanya
refleksi HAM dalam kerangka berpikir yang Islami sehingga nilai keduanya dapat
disatukan.
Melihat kesamaan-kesamaan
diatas, maka perdebatan mengenai dua prinsip ini sebenarnya terjadi di arena
perspektif umat Islam dan Barat. Banyak yang mengira bahwa
kesepakatan-kesepakatan internasional dalam deklarasi HAM merupakan ide-ide
yang berasal dari agama Kristen atau dari pandangan Barat. Sebenarnya kalau
diamati, sebagian besar dari prinsip-prinsip tersebut juga merupakan prinsip
dasar dalam Islam. Maka diperlukan adanya dialog internasional antara dunia
Barat dan dunia Islam untuk merevisi HAM agar menjadi prinsip yang benar-benar
universal. Selain itu, untuk menghindari kesemena-menaan hukum terhadap
perempuan, para perempuan muslim juga harus berpartisipasi aktif dalam
mempengaruhi proses pembuatan hukum baik dalam negeri maupun internasional.
Tapi Shehata juga
menegaskan bahwa perdebatan antar nilai ini tidak akan berakhir begitu saja,
karena pasti akan ditemukan nilai-nilai yang bertentangan. Oleh karenanya,
pintu dialog, evaluasi dan analisa kritis terhadap “apa itu nilai-nilai
kemanusiaan yang universal” harus tetap dibuka. We
need more wisdom!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar