SEJARAH KONSTITUSI
Sebenarnya.
konstitusi (constitution) berbeda dengan Undang-Undang Dasar (Grundgezets),
dikarenakan suatu kekhilafan dalam pandangan orang mengenai konstitusi pada
negara-negara modern sehingga pengertian konstitusi itu kemudian disamakan
dengan Undang-Undang Dasar. Kekhilafan ini disebabkan oleh pengaruh faham
kodifikasi yang menghendaki agar semua peraturan hukum ditulis, demi mencapai
kesatuan hukum, kesederhanaan hukum dan kepastian hukum. Begitu besar pengaruh
faham kodifikasi, sehingga setiap peraturan hukum karena penting itu harus
ditulis, dan konstitusi yang ditulis itu adalah Undang-Undang Dasar.
Secara umum terdapat dua macam
konstitusi yaitu :
1) Konstitusi
tertulis dan
2) Konstitusi tak
tertulis.
Hampir semua negara
di dunia memiliki konstitusi tertulis atau Undang-Undang Dasar (UUD) yang pada
umumnya mengatur mengenai pembentukan, pembagian wewenang dan cara bekerja
berbagai lembaga kenegaraan serta perlindungan hak azasi manusia.
Negara yang
dikategorikan sebagai negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis adalah
Inggris dan Kanada. Di kedua negara ini, aturan dasar terhadap semua
lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak asasi manusia terdapat pada adat
kebiasaan dan juga tersebar di berbagai dokumen, baik dokumen yang relatif baru
maupun yang sudah sangat tua seperti Magna Charta yang berasal dari tahun 1215
yang memuat jaminan hak-hak azasi manusia rakyat Inggris. Karena ketentuan
mengenai kenegaraan itu tersebar dalam berbagai dokumen atau hanya hidup dalam
adat kebiasaan masyarakat itulah maka Inggris masuk dalam kategori negara yang
memiliki konstitusi tidak tertulis.
Pada hampir semua konstitusi
tertulis diatur mengenai pembagian kekuasaan berdasarkan jenis-jenis kekuasaan,
dan kemudian berdasarkan jenis kekuasaan itu dibentuklah lembaga-lembaga
negara. Dengan demikian, jenis kekuasaan itu perlu ditentukan terlebih dahulu,
baru kemudian dibentuk lembaga negara yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
jenis kekuasaan tertentu itu.
Beberapa sarjana
mengemukakan pandangannya mengenai jenis tugas atau kewenangan itu, salah satu
yang paling terkemuka adalah pandangan Montesquieu bahwa kekuasaan negara
itu terbagi dalam tiga jenis kekuasaan yang harus dipisahkan secara ketat. Ketiga jenis
kekuasaan itu adalah :
- Kekuasaan membuat peraturan perundangan (legislatif)
- Kekuasaan melaksanakan peraturan perundangan (eksekutif)
- Kekuasaan kehakiman (yudikatif).
Pandangan lain mengenai jenis kekuasaan yang perlu dibagi
atau dipisahkan di dalam konstitusi dikemukakan oleh van Vollenhoven dalam buku
karangannya Staatsrecht over Zee. Ia membagi kekuasaan menjadi empat
macam yaitu :
- Pemerintahan (bestuur)
- Perundang-undangan
- Kepolisian
- Pengadilan.
Van Vollenhoven menilai kekuasaan eksekutif itu terlalu
luas dan karenanya perlu dipecah menjadi dua jenis kekuasaan lagi yaitu
kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan kepolisian. Menurutnya kepolisian memegang
jenis kekuasaan untuk mengawasi hal berlakunya hukum dan kalau perlu memaksa
untuk melaksanakan hukum.
Wirjono Prodjodikoro
dalam bukunya Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia mendukung gagasan Van
Vollenhoven ini, bahkan ia mengusulkan untuk menambah dua lagi jenis kekuasaan
negara yaitu kekuasaan Kejaksaan dan Kekuasaan Pemeriksa Keuangan untuk
memeriksa keuangan negara serta menjadi jenis kekuasaan ke-lima dan ke-enam.
Berdasarkan teori
hukum ketatanegaraan yang dijelaskan diatas maka dapat disimpulkan bahwa jenis
kekuasaan negara yang diatur dalam suatu konstitusi itu umumnya terbagi atas
enam dan masing-masing kekuasaan itu diurus oleh suatu badan atau lembaga
tersendiri yaitu:
Konstitusi suatu negara pada hakekatnya merupakan hukum dasar tertinggi yang
memuat hal-hal mengenai penyelenggaraan negara, karenanya suatu konstitusi
harus memiliki sifat yang lebih stabil dari pada produk hukum lainnya. Terlebih
lagi jika jiwa dan semangat pelaksanaan penyelenggaraan negara juga diatur
dalam konstitusi sehingga perubahan suatu konstitusi dapat membawa perubahan
yang besar terhadap sistem penyelenggaraan negara. Bisa jadi suatu
negara yang demokratis berubah menjadi otoriter karena terjadi perubahan dalam
konstitusinya.
Adakalanya keinginan
rakyat untuk mengadakan perubahan konstitusi merupakan suatu hal yang tidak
dapat dihindari. Hal ini terjadi apabila mekanisme penyelenggaraan negara yang
diatur dalam konstitusi yang berlaku dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan
aspirasi rakyat. Oleh karena itu, konstitusi biasanya juga mengandung ketentuan
mengenai perubahan konstitusi itu sendiri, yang kemudian prosedurnya dibuat
sedemikian rupa sehingga perubahan yang terjadi adalah benar-benar aspirasi
rakyat dan bukan berdasarkan keinginan semena-mena dan bersifat sementara atau
pun keinginan dari sekelompok orang belaka.
Pada dasarnya ada dua macam sistem yang
lazim digunakan dalam praktek ketatanegaraan di dunia dalam hal perubahan
konstitusi. Sistem yang pertama adalah bahwa apabila suatu konstitusi diubah,
maka yang akan berlaku adalah konstitusi yang berlaku secara keseluruhan
(penggantian konstitusi). Sistem ini dianut oleh hampir semua negara di dunia.
Sistem yang kedua ialah bahwa apabila suatu konstitusi diubah, maka konstitusi
yang asli tetap berlaku. Perubahan terhadap konstitusi tersebut merupakan
amandemen dari konstitusi yang asli tadi. Dengan perkataan lain, amandemen
tersebut merupakan atau menjadi bagian dari konstitusinya. Sistem ini dianut
oleh Amerika Serikat.
PERKEMBANGAN
KONSTITUSI DI INDONESIA
Para pendiri Negara
Kesatuan Republik Indonesia telah sepakat utntuk menyusun sebuah Undang-Undang
Dasar sebagai konstitusi tertulis dengan segala arti dan fungsinya. Sehari
setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945,
konstitusi Indonesia sebagai sesuatu ”revolusi grondwet” telah disahkan
pada 18 Agustus 1945 oleh panitia persiapan kemerdekaan Indonesia dalam sebuah
naskah yang dinamakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dengan
demikian, sekalipun Undang-Undang Dasar 1945 itu merupakan konstitusi yang
sangat singkat dan hanya memuat 37 pasal namun ketiga materi muatan konstitusi
yang harus ada menurut ketentuan umum teori konstitusi telah terpenuhi dalam
Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.
Pada dasarnya kemungkinan untuk
mengadakan perubahan atau penyesuaian itu memang sudah dilihat oleh para
penyusun UUD 1945 itu sendiri, dengan merumuskan dan melalui pasal 37 UUD 1945
tentang perubahan Undang-Undang Dasar. Dan apabila MPR bermaksud akan mengubah
UUD melalui pasal 37 UUD 1945 , sebelumnya hal itu harus ditanyakan lebih
dahulu kepada seluruh Rakyat Indonesia melalui suatu referendum.(Tap no.1/
MPR/1983 pasal 105-109 jo. Tap no.IV/MPR/1983 tentang referendum)
Perubahan
UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda
sidang Tahunan MPR dari tahun 1999 hingga perubahan
ke empat pada sidang tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan
dibentuknya komisi konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara
komperhensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan ketetapan MPR No.
I/MPR/2002 tentang pembentukan komisi Konstitusi.
Dalam sejarah
perkembangan ketatanegaraan Indonesia ada empat macam Undang-Undang yang pernah
berlaku, yaitu :
- Periode 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949
(Penetapan Undang-Undang Dasar 1945)
Saat Republik
Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Republik yang baru ini
belum mempunyai undang-undang dasar. Sehari kemudian pada tanggal 18 Agustus
1945 Rancangan Undang-Undang disahkan oleh PPKI sebagai Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia setelah mengalami beberapa proses.
- Periode 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
(Penetapan konstitusi Republik Indonesia Serikat)
Perjalanan negara
baru Republik Indonesia ternyata tidak luput dari rongrongan pihak Belanda yang
menginginkan untuk kembali berkuasa di Indonesia. Akibatnya Belanda mencoba
untuk mendirikan negara-negara seperti negara Sumatera Timur, negara Indonesia
Timur, negara Jawa Timur, dan sebagainya. Sejalan dengan usaha Belanda tersebut
maka terjadilah agresi Belanda 1 pada tahun 1947 dan agresi 2 pada tahun 1948.
Dan ini mengakibatkan diadakannya KMB yang melahirkan negara Republik Indonesia
Serikat. Sehingga UUD yang seharusnya berlaku untuk seluruh negara Indonesia
itu, hanya berlaku untuk negara Republik Indonesia Serikat saja.
- Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
(Penetapan Undang-Undang Dasar Sementara 1950)
Periode federal dari
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1949 merupakan perubahan
sementara, karena sesungguhnya bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945 menghendaki
sifat kesatuan, maka negara Republik Indonesia Serikat tidak bertahan lama
karena terjadinya penggabungan dengan Republik Indonesia. Hal ini mengakibatkan
wibawa dari pemerintah Republik Indonesia Serikat menjadi berkurang, akhirnya
dicapailah kata sepakat untuk mendirikan kembali Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Bagi negara kesatuan yang akan didirikan jelas perlu adanya suatu
undang-undang dasar yang baru dan untuk itu dibentuklah suatu panitia bersama
yang menyusun suatu rancangan undang-undang dasar yang kemudian disahkan pada
tanggal 12 Agustus 1950 oleh badan pekerja komite nasional pusat dan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus
1950 dan berlakulah undang-undang dasar baru itu pada tanggal 17 Agustus 1950.
- Periode 5 Juli 1959 – sekarang
(Penetapan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945)
Dengan dekrit
Presiden 5 Juli 1959 berlakulah kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dan perubahan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Orde Lama pada masa 1959-1965 menjadi
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Orde Baru. Perubahan itu dilakukan
karena Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Orde Lama dianggap kurang
mencerminkan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar