C. KONSTITUSI DAN TATA PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA
PENGERTIAN, KEDUDUKAN, SIFAT, FUNGSI DAN
SUBSTANSI KONSTITUSI
Pengertian
Konstitusi
Dalam arti yang
paling luas berarti Hukum Tata Negara, yaitu keseluruan aturan dan ketentuan
(hukum) yang menggambarkan sistem ketatanegaraan suatu negara. Contoh: istilah
Contitutional Law dalam bahasa Inggris berarti Hukum Tata Negara. Dalam arti
sempit, berarti Undang-Undang Dasar, yaitu satu atau beberapa dokumen yang
memuat aturan-aturan ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok.
Kedudukan
Konstitusi
Konstitusi berkedudukan sebagai hukum dasar dan sekaligus hukum tertinggi dalam suatu negara. Konstitusi menjadi dasar dan sumber bagi peraturan perundangan lain yang ada dalam suatu negara. Konstitusi berkedudukan paling tinggi dalam tata urutan peraturan perundangan satu negara.
Sifat
Konstitusi
Konstitusi atau UUD ada yang bersifat supel (bisa diubah oleh badan pembuat undang-undang), ada pula yang bersifat kaku (tidak diubah oleh badan pembuat undang-undang, karena memerlukan prosedur khusus yang lebih berat. Contoh: UUD 1945 adalah konstitusi yang kaku , karena hanya dapat diubah oleh MPR, bukan oleh lembaga legislatif sehari-hari di Indonesia, yaitu DPR bersama Presiden.
Fungsi
Konstitusi
Konstitusi atau UUD mempunyai dua fungsi utama, yaitu menentukan dan membatasi kekuasaan penguasa negara dan penjamin hak-hak asasi manusia. Melalui pembagian kekuasaan negara, konstitusi menentukan dan membatasi kekuasaan penguasa, sedangkan melalui aturan tentang hak asasi, konstitusi memberi perintah agar penguasa negara melindungi hak-hak asasi manusia warga negara atau penduduknya.
Substansi
Konstitusi
Pada umumnya kontitusi atau UUD berisi:
- Pernyataan tentang ideologi dasar negara atau gagasan-gagasan moral kenegaraan
- Ketentuan tentang struktur organisasi Negara
- Ketentuan tentang perlindungan hak-hak asasi manusia
- Ketentuan tentang prosedur mengubah Undang-Undang Dasar
- Larangan mengubah sifat tertentu dari Undang-Undang Dasar.
SEJARAH KONSTITUSI
Sebenarnya.
konstitusi (constitution) berbeda dengan Undang-Undang Dasar (Grundgezets),
dikarenakan suatu kekhilafan dalam pandangan orang mengenai konstitusi pada
negara-negara modern sehingga pengertian konstitusi itu kemudian disamakan
dengan Undang-Undang Dasar. Kekhilafan ini disebabkan oleh pengaruh faham
kodifikasi yang menghendaki agar semua peraturan hukum ditulis, demi mencapai
kesatuan hukum, kesederhanaan hukum dan kepastian hukum. Begitu besar pengaruh
faham kodifikasi, sehingga setiap peraturan hukum karena penting itu harus
ditulis, dan konstitusi yang ditulis itu adalah Undang-Undang Dasar.
Secara umum terdapat dua macam
konstitusi yaitu :
1) Konstitusi
tertulis dan
2) Konstitusi tak
tertulis.
Hampir semua negara
di dunia memiliki konstitusi tertulis atau Undang-Undang Dasar (UUD) yang pada
umumnya mengatur mengenai pembentukan, pembagian wewenang dan cara bekerja
berbagai lembaga kenegaraan serta perlindungan hak azasi manusia.
Negara yang
dikategorikan sebagai negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis adalah
Inggris dan Kanada. Di kedua negara ini, aturan dasar terhadap semua
lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak asasi manusia terdapat pada adat
kebiasaan dan juga tersebar di berbagai dokumen, baik dokumen yang relatif baru
maupun yang sudah sangat tua seperti Magna Charta yang berasal dari tahun 1215
yang memuat jaminan hak-hak azasi manusia rakyat Inggris. Karena ketentuan
mengenai kenegaraan itu tersebar dalam berbagai dokumen atau hanya hidup dalam
adat kebiasaan masyarakat itulah maka Inggris masuk dalam kategori negara yang
memiliki konstitusi tidak tertulis.
Pada hampir semua
konstitusi tertulis diatur mengenai pembagian kekuasaan berdasarkan jenis-jenis
kekuasaan, dan kemudian berdasarkan jenis kekuasaan itu dibentuklah
lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, jenis kekuasaan itu perlu ditentukan
terlebih dahulu, baru kemudian dibentuk lembaga negara yang bertanggung jawab
untuk melaksanakan jenis kekuasaan tertentu itu.
Beberapa sarjana
mengemukakan pandangannya mengenai jenis tugas atau kewenangan itu, salah satu
yang paling terkemuka adalah pandangan Montesquieu bahwa kekuasaan negara
itu terbagi dalam tiga jenis kekuasaan yang harus dipisahkan secara ketat. Ketiga jenis
kekuasaan itu adalah :
- Kekuasaan membuat peraturan perundangan (legislatif)
- Kekuasaan melaksanakan peraturan perundangan (eksekutif)
- Kekuasaan kehakiman (yudikatif).
Pandangan lain mengenai jenis kekuasaan yang perlu dibagi
atau dipisahkan di dalam konstitusi dikemukakan oleh van Vollenhoven dalam buku
karangannya Staatsrecht over Zee. Ia membagi kekuasaan menjadi empat
macam yaitu :
- Pemerintahan (bestuur)
- Perundang-undangan
- Kepolisian
- Pengadilan.
Van Vollenhoven menilai kekuasaan eksekutif itu terlalu
luas dan karenanya perlu dipecah menjadi dua jenis kekuasaan lagi yaitu
kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan kepolisian. Menurutnya kepolisian memegang
jenis kekuasaan untuk mengawasi hal berlakunya hukum dan kalau perlu memaksa
untuk melaksanakan hukum.
Wirjono Prodjodikoro
dalam bukunya Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia mendukung gagasan Van
Vollenhoven ini, bahkan ia mengusulkan untuk menambah dua lagi jenis kekuasaan
negara yaitu kekuasaan Kejaksaan dan Kekuasaan Pemeriksa Keuangan untuk
memeriksa keuangan negara serta menjadi jenis kekuasaan ke-lima dan ke-enam.
Berdasarkan teori
hukum ketatanegaraan yang dijelaskan diatas maka dapat disimpulkan bahwa jenis
kekuasaan negara yang diatur dalam suatu konstitusi itu umumnya terbagi atas
enam dan masing-masing kekuasaan itu diurus oleh suatu badan atau lembaga
tersendiri yaitu:
Konstitusi suatu negara pada hakekatnya merupakan hukum dasar tertinggi yang
memuat hal-hal mengenai penyelenggaraan negara, karenanya suatu konstitusi
harus memiliki sifat yang lebih stabil dari pada produk hukum lainnya. Terlebih
lagi jika jiwa dan semangat pelaksanaan penyelenggaraan negara juga diatur
dalam konstitusi sehingga perubahan suatu konstitusi dapat membawa perubahan
yang besar terhadap sistem penyelenggaraan negara. Bisa jadi suatu
negara yang demokratis berubah menjadi otoriter karena terjadi perubahan dalam
konstitusinya.
Adakalanya keinginan
rakyat untuk mengadakan perubahan konstitusi merupakan suatu hal yang tidak
dapat dihindari. Hal ini terjadi apabila mekanisme penyelenggaraan negara yang
diatur dalam konstitusi yang berlaku dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan
aspirasi rakyat. Oleh karena itu, konstitusi biasanya juga mengandung
ketentuan mengenai perubahan konstitusi itu sendiri, yang kemudian prosedurnya
dibuat sedemikian rupa sehingga perubahan yang terjadi adalah benar-benar
aspirasi rakyat dan bukan berdasarkan keinginan semena-mena dan bersifat
sementara atau pun keinginan dari sekelompok orang belaka.
Pada dasarnya ada dua macam sistem yang
lazim digunakan dalam praktek ketatanegaraan di dunia dalam hal perubahan
konstitusi. Sistem yang pertama adalah bahwa apabila suatu konstitusi diubah,
maka yang akan berlaku adalah konstitusi yang berlaku secara keseluruhan
(penggantian konstitusi). Sistem ini dianut oleh hampir semua negara di dunia.
Sistem yang kedua ialah bahwa apabila suatu konstitusi diubah, maka konstitusi
yang asli tetap berlaku. Perubahan terhadap konstitusi tersebut merupakan amandemen
dari konstitusi yang asli tadi. Dengan perkataan lain, amandemen tersebut
merupakan atau menjadi bagian dari konstitusinya. Sistem ini dianut oleh
Amerika Serikat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar